Oleh:Khairul Anas
Ketum KAMI Kota Padang
Pemerintah Kota Padang selama ini terlalu nyaman berlindung di balik capaian statistik yang memuaskan. Kota ini membanggakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencapai angka 84,34 tertinggi di Sumatera Barat dan sering mengklaim keberhasilan administratif dengan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Angka-angka ini adalah pujian yang patut diakui.
Namun, narasi yang utuh harus berani membaca kontras yang menyakitkan. Di balik ‘kebaikan’ administratif itu, kita menemukan kritik terhadap realitas lapangan dan krisis moral yang menggerus kepercayaan. Jelas, masalah di Padang telah bergeser.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ini bukan lagi soal efisiensi administrasi, melainkan risiko konflik kepentingan yang tragis yang kini menyelimuti tata kelola kota.
Kita juga tidak lupa walikota kita juga mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Latar belakang ini, dalam konteks kekuasaan, langsung dihubungkan dengan potensi konflik kepentingan yang sangat besar.
Seperti yang ditegaskan oleh Khairul Anas, Ketua Umum Komunitas Aktivis Muda Indonesia (KAMI):
“Kami bertanya: Apakah etika dan moral kepemimpinan juga setinggi IPM? Jelas, masalah di Padang bukan lagi soal administrasi yang cacat, melainkan risiko konflik kepentingan yang tragis yang terselubung di balik jargon pembangunan.”
Beliau kini mengendalikan sebuah mesin fiskal raksasa, dengan APBD Rp 2,565 Triliun dan Investasi yang melonjak hingga Rp 36 Triliun. Kerentanan sistem terbukti nyata: adanya 1.312 paket Pengadaan Langsung (PL) yang terdata dalam periode singkat menunjukkan mekanisme pengadaan yang paling rentan telah menjadi rutinitas. Ini adalah alarm! Penggunaan masif PL adalah indikasi bahwa sistem sengaja membuka celah, menjadi ‘karpet merah’ bagi potensi KKN.
Masalah Walikota Padang bukan hanya terletak pada manajemen anggaran, tetapi juga pada fokus kepemimpinan dan moral dalam menghadapi isu sosial mendasar.
Khairul Anas (KAMI) secara keras menyoroti krisis ini:
“Saat kita disibukkan dengan riuh rendah infrastruktur, Kota Padang diserang oleh isu krisis moral dan kesehatan yang akut. Data Dinas Kesehatan mencatat total kasus HIV/AIDS telah menembus angka 2.026 kasus, dengan 192 kasus baru sepanjang tahun 2025! Ini bukan hanya angka, ini adalah tragedi kemanusiaan yang didominasi oleh usia produktif, cerminan kegagalan kepemimpinan dalam menjaga moralitas sosial dan lingkungan kota.”
Ketegasan Walikota dalam menertibkan PKL memang diperlukan, tetapi ketegasan itu harus sebanding, bahkan harus lebih tajam, dalam memagari diri dan sistem dari risiko konflik kepentingan, serta dalam mengatasi krisis moral yang nyata.
Apakah kepentingan bisnis masa lalu kini memimpin kebijakan publik? Padang membutuhkan pemimpin yang berani melepaskan bayangan masa lalu bisnisnya untuk sepenuhnya mengabdi pada publik. Fokus kepemimpinan dan moralitas harus menjadi tolok ukur utama, melampaui sekadar angka-angka IPM dan WTP.













