Lamongan – Dugaan mengenai jual beli jabatan di Desa Sidomulyo, Kecamatan Modo, Kabupaten Lamongan, kian santer terdengar. Hal tersebut muncul lantaran selain masyarakat umum Desa Sidomulyo yang telah mengetahui dan bersuara, juag ada tokoh masyarakat yang berkomentar. Rabu (10/09/2015).
Momentum yang sangat sakral ini harus tercoreng oleh ulah oknum kepala desa yang memanfaatkan jabatannya. Alih-alih mencari sosok terbaik untuk mengisi kekosongan jabatan dengan posisi strategis desa, proses rekrutmen justru diduga sarat akan penyimpangan, minim transparansi, dan tercium praktik jual beli jabatan (gratifikasi).
Berdasarkan pengumuman resmi, panitia membuka lowongan untuk Kaur Keuangan, Kasi Pemerintahan, dan Kasi Kesejahteraan Masyarakat sejak 29 Agustus hingga 12 September 2025. Namun, sejak tahap awal, proses ini sudah menuai tanda tanya besar.
Ketua BPD Sidomulyo, Drs. Masnun, mengungkapkan kejanggalan serius. Ia menegaskan tidak pernah dilibatkan dalam rapat pembentukan panitia penerimaan perangkat desa.
“Saya tidak pernah menerima konfirmasi, baik lisan maupun tertulis, soal pembentukan panitia. Tahu-tahu saya mendengar kabar bahwa ketua panitia dijabat Mashud, yang masih Kaur Umum, sementara sekretaris panitia dirangkap oleh Sekretaris Desa, yakni Siswanto,” ujarnya dengan nada kecewa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika benar, situasi ini jelas menyalahi prinsip transparansi dan akuntabilitas. Panitia yang seharusnya independen justru diisi oleh perangkat aktif, sehingga rawan konflik kepentingan.
Lebih mencengangkan lagi, beredar kabar bahwa setiap calon perangkat desa harus menyediakan dana fantastis hingga Rp.250 juta agar bisa lolos. Angka itu diyakini bukan sekadar isu, sebab beberapa warga mengaku mendengarnya langsung saat hendak mendaftar.
“Harus bayar Rp250 juta. Bagaimana mungkin?. Banyak warga yang punya kualitas bagus akhirnya mundur karena tidak sanggup membayar nominal yang disampaikan. Yang tersisa hanya mereka yang punya uang, meski secara kemampuan biasa saja,” ungkap salah satu warga dengan geram.
Jika praktik ini benar terjadi, konsekuensinya fatal, perangkat desa yang terpilih bukanlah yang paling mumpuni, melainkan mereka yang mampu membeli jabatan. Desa berisiko dikelola bukan oleh orang-orang terbaik, tetapi oleh “pembeli kursi”.
Kabar miring ini menimbulkan keresahan luas. Warga mendesak pemerintah desa membuka proses seleksi secara terang benderang, melibatkan semua unsur kelembagaan desa, dan memastikan seleksi berbasis kualitas, bukan kapital.
“Kami ingin proses rekrutmen dilakukan secara fair. Jangan sampai demokrasi desa dicemari oleh praktik transaksional,” tegas seorang warga lain.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi pemerintah kecamatan maupun kabupaten. Jika dibiarkan, bukan hanya Sidomulyo yang tercoreng, tetapi juga wajah tata kelola desa di Lamongan. Dugaan pungli hingga miliaran rupiah dari hasil “jual beli jabatan” bisa menjadi skandal besar bila terbukti.
Kini, bola panas ada di tangan aparat pengawas dan penegak hukum. Masyarakat menunggu, apakah praktik kotor ini akan dibongkar, atau justru dibiarkan menjadi tradisi gelap dalam rekrutmen perangkat desa.
Kepala Desa Sidomulyo (M. Zainuddin Lubis), saat diklarifikasi awak media perihal gratifikasi di sistem pemeritahannya, ia hanya bungkam, hingga berita ini ditayangkan. (Redaksi)